Sejarah singkat musik religi (hadrah,marawis,dan gambus)
Sejarah singkat musik religi (hadrah,marawis,dan gambus)
Jenis
atraksi kesenian ini telah berkembang pesat sejak abad ke – 16 pada
masa keemasan kesultanan Bima. Hadrah Rebana merupakan jenis atraksi
yang telah mendapat pengaruh ajaran islam.
Syair lagu yang dinyanyikan adalah lagu-lagu dalam bahasa Arab dan
biasanya mengandung pesan – pesan rohani. Dengan berbekal 3 buah Rebana
dan 6 sampai 12 penari, mereka mendendangkan lagu-lagu seperti
Marhaban dan lain-lain. Hadrah Rebana biasa digelar pada acara WA’A CO’I
(Antar Mahar), Sunatan maupun Khataman Alqur’an. Hingga saat ini Hadrah
Rebana telah berkembang pesat sampai ke seluruh pelosok. Hal yang
menggembirakan adalah Hadrah Rebana ini terus berkembang dan dikreasi
oleh seniman di Bima. Dan banyak sekali karya-karya gerakan dan
lagu-lagu yang mengiringi permainan Hadrah Rebana ini .

Salah satu jenis musik berlatar Islam-Arab yang hingga kini masih
popular adalah Marawis. Jenis musik ini dibawa ke Indonesia oleh para
pedagang dan ulama yang berasal dari Yaman beberapa abad yang lalu.
Disebut Marawis karena musik dan tarian ini menggunakan alat musik khas
mirip kendang yang disebut Marawis. Alat musik tetabuhan lainnya yang
digunakan adalah hajir atau gendang besar, dumbuk (sejenis gendang yang
berbentuk seperti dandang), tamborin, dan ditambah lagi dua potong kayu
bulat berdiameter sekira 10 cm.
Dalam seni marawis terdapat tiga nada yang berbeda, yakni zafin, sarah,
dan zaife. Zafin merupakan nada yang sering digunakan untuk lagu-lagu
pujian kepada Nabi Muhammad saw. Tempo nada yang satu ini lebih lambat
dan tidak terlalu mengentak.
Kini, zafin tak hanya digunakan untuk mengiringi lagu-lagu pujian, tapi
juga digunakan untuk mendendangkan lagu-lagu Melayu. Sedangkan, nada
sarah dan zaife digunakan untuk irama yang mengentak dan membangkitkan
semangat.
dan sedikit tambahan mengenai irama Gambus
Gambus
merupakan salah satu musik yang telah berusia ratusan tahun dan sampai
kini masih tetap populer. Gambus berkembang sejak abad ke-19, bersama
dengan kedatangan para imigran Arab dari Hadramaut (Republik Yaman) ke
nusantara. Kalau para wali songo menggunakan gamelan sebagai sarana
dakwah, para imigran Hadramaut yang datang belakangan menjadikan gambus
sebagai sarananya.
Dengan menggunakan syair-syair kasidah, gambus mengajak masyarakat
mendekatkan diri pada Allah dan mengikuti teladan Rasul-Nya. Pada
mulanya, para imigran Arab membawa sendiri peralatan petik gambus dari
negeri asalnya. Tetapi kini sudah diproduksi sendiri, yang tidak kalah
mutunya. Musik petik gambus ini di Timur Tengah dinamai oud. Jadi
istilah gambus hanya dikenal di Indonesia. Entah siapa yang memulai
menamakannya.
Sementara kasidahan mengumandangkan salawat kepada Nabi, gambus
berkembang jadi sarana hiburan. Tidak heran pada 1940-an sampai 1960-an
(sebelum muncul dangdut), gambus merupakan sajian yang hampir tidak
pernah ketinggalan dalam pesta-pesta perkawinan dan khitanan. Gambus
sebenarnya cikal bakal dari musik dangdut yang sekarang telah menjadi
konsumsi pencinta musik, tidak hanya di level menengah dan bawah saja,
tapi sudah merasuki kalangan di level atas.
Salah satu musisi gambus yang paling kesohor adalah Syech Albar,
kelahiran Surabaya 1908, yang juga ayah penyanyi rock Achmad Albar. Pada
tahun 1935 rayuannya telah direkam dalam piringan hitam “His Masters
Voice”. Suara dan petikan gambusnya bukan saja digemari di Indonesia,
tapi juga di Timur Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar